INDAHNYA PERTENGKARAN
DALAM KELUARGA
Buat Yang Udah Nikah,
Mau Nikah,
Punya Niat Untuk Nikah
Bertengkar adalah fenomena
yang sulit dihindari
dlm kehidupan berumah tangga.
Yang jelas kita perlu menikmati
saat-saat bertengkar itu,
sebagaimana lebih menikmati
lagi saat-saat tidak bertengkar.
Bertengkar itu sebenarnya
sebuah keadaan diskusi, hanya
saja dihantarkan dalam muatan
emosi tingkat tinggi.
Kalau tahu etikanya,
dalam bertengkarpun kita bisa
mereguk hikmah, betapa tidak,
justru dalam pertengkaran,
setiap kata yang terucap
mengandung muatan perasaan
yang sangat dalam, yang
mencuat dengan desakan energi
yang tinggi, pesan-pesannya
terasa kental, lebih mudah
dicerna ketimbang basa-basi
tanpa emosi.
.....Suatu ketika seseorang
berbincang dengan orang yang
akan menjadi teman hidupnya,
dan salah satunya bertanya,
apakah ia bersedia berbagi masa
depan dengannya, dan
jawabannya tepat seperti yang
diharap.
Mereka mulai membicarakan,
seperti apa suasana rumah
tangga ke depan. Salah satu
diantaranya adalah tentang apa
yang harus dilakukan kala
mereka bertengkar.
Dari beberapa perbincangan
hingga waktu yang
mematangkannya, tibalah
mereka pada sebuah
Memorandum of Understanding,
bahwa kalaupun harus
bertengkar, maka :
1. Kalau bertengkar tidak boleh
berjama'ah
Cukup seorang saja yang
marah-marah, yang terlambat
mengirim sinyal nada tinggi
harus menunggu sampai yang
satu reda. Untuk urusan marah
pantang berjama'ah, seorangpun
sudah cukup membuat rumah
jadi meriah. Ketika seorang
marah dan saya mau menyela,
segera ia berkata "STOP" ini
giliran saya ! Saya harus diam
sambil istighfar.
Sambil menahan senyum saya
berkata dalam hati ,
"Kamu makin cantik kalau marah,
makin energik ..."
Dan dengan diam itupun saya
merasa telah beramal sholeh,
telah menjadi jalan bagi
tersalurkannya luapan perasaan
hati yang dikasihi... "duh kekasih
.. bicaralah terus, kalau dengan
itu hatimu menjadi lega, maka
dipadang kelegaan perasaanmu
itu aku menunggu ...."
Demikian juga kalau pas kena
giliran saya "yang olah raga
otot muka", saya menganggap
bahwa distorsi hati, nanah dari
jiwa yang tersinggung adalah
sampah, ia harus segera dibuang
agar tak menebar kuman,
dan saya tidak berani marah
sama siapa- siapa kecuali pada
isteri saya.
Maka kini giliran dia yang harus
bersedia jadi keranjang sampah.
pokoknya khusus untuk marah,
memang tidak harus berjama'ah,
sebab ada sesuatu yang lebih
baik untuk dilakukan secara
berjama'ah selain marah.
2. Marahlah untuk persoalan itu
saja, jangan ungkit yang telah
terlipat masa.
Siapapun kalau diungkit
kesalahan masa lalunya, pasti
terpojok, sebab masa silam
adalah bagian dari sejarah
dirinya yang tidak bisa ia ubah.
Siapapun tidak akan suka dinilai
dengan masa lalunya.
Sebab harapan terbentang mulai
hari ini hingga ke depan. Dalam
bertengkar pun kita perlu
menjaga harapan dan bukan
menghancurkannya. Sebab
pertengkaran di antara orang
yang masih mempunyai harapan,
hanyalah sebuah foreplay,
sedang pertengkaran dua hati
yang patah asa, menghancurkan
peradaban cinta yang telah
sedemikian mahal dibangunnya.
Kalau saya terlambat pulang dan
ia marah,maka kemarahan atas
keterlambatan itu sekeras
apapun kecamannya, adalah
"ungkapan rindu yang keras".
Tapi bila itu dikaitkan dgn
seluruh keterlambatan saya,
minggu lalu,awal bulan kemarin
dan dua bulan lalu, maka itu
membuat saya terpuruk jatuh.
Bila teh yang disajinya tidak
manis, sepedas apapun saya
marah,maka itu adalah
"harapan ingin disayangi lebih
tinggi". Tapi kalau itu
dihubungkan dgn kesalahannya
kemarin dan tiga hari lewat,plus
tuduhan "Sudah tidak suka
lagi ya dengan saya", maka saya
telah menjepitnya dengan hari
yang telah pergi, saya
menguburnya di masa lalu,
ups saya telah membunuhnya,
membunuh cintanya.
Padahal kalau cintanya mati,
saya juga yang susah ... OK,
marahlah tapi untuk kesalahan
semasa, saya tidak hidup
di minggu lalu, dan ia pun milik
hari ini .....
3. Kalau marah jangan
bawa-bawa keluarga
Saya dengan isteri saya terikat
baru beberapa masa, tapi saya
dengan ibu dan bapak saya
hampir berkali lipat lebih
panjang dari itu, demikian juga
ia dan kakak serta pamannya.
Dan konsep Quran, seseorang itu
tidak menanggung kesalahan
fihak lain (QS.53:38-40).
Saya tidak akan terpantik marah
bila cuma saya yang dimarahi,
tapi kalau ibu saya diajak serta,
jangan coba coba. Begitupun dia,
semenjak saya menikahinya,
saya telah belajar mengabaikan
siapapun di dunia ini selain dia,
karenanya mengapa harus
bawa - bawa barang lain ke
kancah "awal cinta yang panas
ini".
Kata ayah saya : "Teman seribu
masih kurang, musuh satu
terlalu banyak".
Memarahi orang yang mencintai
saya, lebih mudah dicari
ma'afnya dari pada ngambek
pada yang tidak mengenal hati
dan diri saya..". Dunia sudah
diambang pertempuran,
tidak usah ditambah - tambah
dengan memusuhi mertua!
4. Kalau marah jangan di depan
anak-anak. Anak kita adalah
buah cinta kasih, bukan buah
kemarahan dan kebencian.
Dia tidak lahir lewat
pertengkaran kita, karena itu,
mengapa mereka harus
menonton komedi liar rumah kita.
Anak yang melihat orang tuanya
bertengkar, bingung harus
memihak siapa.
Membela ayah, bagaimana ibunya.
Membela ibu, tapi itu 'kan
bapak saya.
Ketika anak mendengar ayah
ibunya bertengkar :
* Ibu : "Saya ini cape, saya
bersihkan rumah, saya masak,
dan kamu datang main suruh
begitu, emang saya ini babu ?!!!"
* Bapak : "Saya juga cape, kerja
seharian, kamu minta ini dan itu
dan aku harus mencari lebih
banyak untuk itu, saya datang
hormatmu tak ada, emang saya
ini kuda ????!!!!
* Anak : "...... Yaaa ...ibu saya
babu, bapak saya kuda ....
terus saya ini apa ?"
Kita harus berani berkata :
"Hentikan pertengkaran !" ketika
anak datang, lihat mata mereka,
dalam binarannya ada rindu dan
kebersamaan. Pada tawanya ada
jejak kerjasama kita yang
romantis, haruskah ia
mendengar kata bahasa hati kita
???
5. Kalau marah jangan lebih dari
satu waktu shalat. Pada setiap
tahiyyat kita berkata :
"Assalaa-mu 'alaynaa
wa 'alaa'ibaadilahissholiihiin"
Ya Allah damai atas kami,
demikian juga atas hamba
hambamu yg sholeh ....
Nah andai setelah salam kita
cemberut lagi, setelah salam kita
tatap isteri kita dengan amarah,
maka kita telah mendustai Nya,
padahal nyawamu ditangan Nya.
OK, marahlah sepuasnya kala
senja, tapi habis maghrib harus
terbukti lho itu janji dengan Ilahi
.... Marahlah habis shubuh, tapi
jangan lewat waktu dzuhur, Atau
maghrib sebatas isya ... Atau
habis isya sebatas....??? Nnngg
.. Ah kayaknya kita sepakat
kalau habis isya sebaiknya
memang tidak bertengkar ...
6. Kalau kita saling mencinta,
kita harus saling mema'afkan
Tapi yang jelas memang begitu,
selama ada cinta, bertengkar
hanyalah "proses belajar untuk
mencintai lebih intens" Ternyata
ada yang masih setia dengan kita
walau telah kita maki-maki.
Ini saja, semoga bermanfa'at,
"Dengan ucapan syahadat itu
berarti kita menyatakan diri
untuk bersedia dibatasi".
Sungguh Indah & damainya
dunia kalau kita bisa seperti ini
ya...
Hiks...jadi pengen...